Akhmad Bumi Paparkan Lima Langkah Mengatasi Kesenjangan antar Wilayah di NTT

IMG_20231126_080123

 

Kupang, GlobalIndoNews – Dalam catatan BPS, NTT sebagai Propinsi miskin nomor tiga nasional, propinsi miskin pertama dan kedua ditempati Papua dan Papua Barat, keempat ditempati Maluku Utara dan kelima ditempati Gorontalo.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTT juga berada di bawah rata-rata nasional. Pada tahun 2022, IPM NTT berada pada angka 65,9 yang menempatkan provinsi ini pada urutan ke tiga terendah. IPM dengan indikator; umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, standar hidup layak.

Jurang kesenjangan itu tampak nyata. Dampaknya, terjadi ketimpangan yang jauh dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Hal ini imbas pembangunan yang tidak merata yang berdampak pada kemiskinan.

Menanggapi hal tersebut, Calon Anggota DPRD Propinsi Nusa Tenggara Timur dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), nomor urut 2, dapil NTT 6, Akhmad Bumi, SH paparkan langkah-langkah mengatasi kesenjangan antar Wilayah di NTT.

Calon Legislatif asal Lembata dari dapil 6 ini menilai ketimpangan dan kemudian berdampak pada rendahnya IPM ini tentu saja akan menjadi hambatan yang serius dalam pengimplementasian program pengentasan kemiskinan dan lainnya. Oleh karenanya harus ada rumusan politik dalam menekan kesenjangan antar wilayah. Langkah itu dirumuskan melalui kebijakan politik antara Pemerintah dan DPRD, tutur Akhmad Bumi kepada media ini di Kupang, Sabtu (26/11/2023).

 

Ilustrasi Kemiskinan (Ist)

Ilustrasi Kemiskinan (Ist)

 

Akhmad Bumi paparkan langkah-langkah dalam mengatasi kesenjangan antar wilayah di NTT yang harus diperhatikan dengan mendorong adanya rumusaan pembangunan yang holistik di daerah ini.

Pertama, pembangunan dirumuskan dan dilakukan tidak saling mengasingkan dan menyisihkan. Tapi pembangunan itu harus holistik, terintegrasi dan sistemik, tidak ad hoc, parsial atau reaktif. Kalau membaca beberapa hasil penelitian, seperti di Pulau Sumba. Ada kelompok yang masih memegang tradisi budaya Merapu, sedangkan kelompok lain masyarakat yang telah beragama. Di bidang pendidikan hanya memperbolehkan warga masyarakat yang telah beragama untuk mengenyam pendidikan, kelompok lain seperti warga Merapu tidak. Kebijakan ini mengakibatkan permasalahan kemiskinan dan keterbatasan di NTT semakin sulit diselesaikan, bahkan dapat mengakibatkan konflik, karena saling mengasingkan dan menyisihkan antara satu dengan yang lain, tidak terintegrasi dan tampak parsial.

Kedua, pembangunan sering dipandang sebagai proyek orang-orang kota, bercelana panjang, terpelajar, pegawai, dan berpendidikan. Bukan dari mereka yang kurang terpelajar, tidak memiliki pekerjaan kantoran, dan berdiam di kampung-kampung terpencil, memakai sarung. Mereka-mereka ini hanya obyek dalam pembangunan. Hal ini menggambarkan adanya keterpisahan sosial budaya antara masyarakat dalam pembangunan. Rumusan pembangunan harus komprehensif dan sinergis bercirikan masyarakat sipil, pluralis, dan melalui asas tata kelola pemerintahan yang baik sebelum mengambil keputusan politik agar Pembangunan itu dapat “menetes ke bawah”.

Ketiga, perlu menghubungkan kebijakan dengan permasalahan di NTT; masalah kemiskinan, pendidikan, keterbatasan infrastruktur, dan kesehatan. Penduduk miskin daerah ini tiap tahun meningkat, bukan menurun. Dalam catatan BPS, penduduk miskin pers September 2023 sebesar 20,23%. Angka ini naik dibanding Maret 2022 sebesar 20,05%.

Kemiskinan itu mereka yang tidak atau kurang memiliki aset. Sementara aset adalah sumber bagi pendapatan seseorang. Kalau tidak mempunyai aset berarti sumber pendapatannya hilang, menjadi pengangguran, dan tidak tahu apa yang mau dikerjakan. Aset fisik dan non fisik. Aset fisik seperti; rumah, cangkul, mesin, tanah, pabrik dan aset fisik lainnya, sedangkan aset non fisik seperti; pendidikan, keterampilan, kesehatan dan seterusnya, tandas Anggota DPRD Lembata 2004-2009 ini.

Demikian juga pendidikan. Angka drop out atau putus sekolah untuk anak-anak daerah ini masih tinggi, harus menjadi perhatian yang serius. Saat ini ada 1,35 juta anak yang sekolah di Paud, SD, SMP, SMA baik negeri maupun swasta tersebar di 7657 sekolah. Anak-anak ini memasuki usia produktif (15 tahun keatas) pada tahun 2030. Perlu dijaga agar anak-anak ini tidak ada lagi yang drop out. Perlu dipersiapkan dengan baik agar generasi emas NTT memiliki kemampuan dan daya saing yang baik dalam menghadapi dunia kerja dimasa depan.

Keempat, kasus korupsi di NTT menjadi salah satu penyumbang kemiskinan di NTT dan penyelenggaraan pemerintahan yang masih bernuansa politis dan etnik, hal itu sebagai salah satu permasalahan atau kendala dalam implementasi kebijakan pembangunan.

Kelima, pembangunan melalui sinkronisasi program dan kegiatan yang lahir dari RPJPD, RPJMD, dan RTRW Provinsi NTT. Beberapa aspek seperti tingkat pendidikan dan kesehatan, laju pertumbuhan penduduk, tingkat kelahiran dan kematian, migrasi ke luar daerah, ketenagakerjaan, dan kualitas sumber daya manusia penduduk perlu dianalisis dengan baik agar tidak keliru dalam melahirkan kebijakan politik daerah. Terintegrasi antara propinsi, kabupaten/kota dan tata ruang nasional, tidak parsial, jelasnya. (*/Red)

————

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan /atau keberatan dengan penayangan artikel dan /atau berita tersebut diatas, Anda dapat mengirimkan artikel dan /atau  berita berisi sanggahan dan /atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: globalindonews74@gmail.com

img-20230824-wa0124
IMG_20231101_182917