Bang Kadir, Pelukis Peradaban dari Bumi Komodo

(Sebuah Memoar dalam Buku Bocah Matahari “Syamsudin Kadir Di Mata Sahabat”)
Oleh : Zulkasim Achmad Jenggo, S.Pd*
Jika kita menelisik tentang catatan perjalanan Bang Syamsudin Kadir maka kita akan menemukan spektrum cahaya berwarna-warni yang menemani setiap perjalanan hidup beliau. Bang Kadir (begitu ia biasa disapa), yang dulu 40 tahun lalu merupakan seorang anak bocah ingusan dari Cereng (Manggarai Barat-NTT) telah menapaki masa pendidikannya dari SD hingga Perguruan Tinggi di berbagai tempat dengan kultur budaya yang berbeda-beda.
Saat masih kecil beliau mengenyam pendidikan di SD Katholik di kampung halamannya yakni SDK Cereng. Kemudian beliau berhijrah ke NTB untuk melanjutkan pendidikan menengahnya di Kediri, Lombok Barat NTB tepatnya di Pondok Pesantren Nurul Hakim. Pulau Lombok pada umumnya yang dijuluki sebagai Negeri 1000 Masjid telah mengajarkan dan mendidik beliau melalui para gurunya, ustadz/ustadzah dan para ‘alim agar seorang anak kampung dari salah satu daerah minoritas muslim di NTT bisa mendapatkan pendidikan yang layak untuk menjadi seorang muballigh yang handal, ketika kelak pulang ke kampung halamannya.
Kecintaannya kepada ilmu pengetahuan khususnya Pendidikan Agama Islam menjadi pemacu bagi Bang Kadir untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD), Bandung-Jawa Barat.
Kegemarannya pada dunia literasi ternyata sudah terbentuk saat masih belia. Ketika masih SD, Bang Kadir suka sekali membaca berbagai macam buku baik itu, buku yang bergenre nonfiksi maupun fiksi seperti buku agama, buku ilmu pengetahuan (baik sains maupun ilmu-ilmu sosial), buku cerpen, buku komik, buku puisi dan lain sebagainya.
Ternyata akumulasi ilmu pengetahuan dan inspirasi yang diperoleh dari berbagai macam buku menjadi trigger bagi Bang Kadir untuk menjadi seorang penulis. Awal beliau mulai aktif menulis saat menjadi santri di Pondok Pesantren Nurul Hakim. Bersama-sama dengan temannya, mereka membentuk komunitas-komunitas kecil untuk berdiskusi dan menjadi ajang pergumulan isi kepala untuk memantik ungkapan hati dari getaran jiwa yang suci para pemuda ibnu sabil yang sedang tholibul ‘ilmi (baca: mencari ilmu) untuk menggoreskan pena merangkai peradaban dunia.
Bang Kadir selalu menulis setiap hal yang terlintas dalam isi kepalanya. Ia menulis dari hal-hal yang sederhana, remeh temeh yang jarang disentuh orang sampai ke persoalan-persoalan serius yang menjadi perhatian publik baik itu masalah agama, sosial kemasyarakatan, isu-isu politik, persoalan hukum dan lain-lain. Rupanya menulis sudah menjadi habit (baca: kebiasaan) bagi pemuda yang murah senyum ini. Ia selalu mengembara kemana saja bersama goresan mata pena yang ia goreskan pada lembaran- lembaran kertas atau bersama jari-jemarinya yang terus menari di papan keyboard laptop atau PC-nya. Hal ini sangat selaras dengan salah satu puisi saya yakni Mengembara Dalam Pena dalam buku kumpulan puisi dengan judul Senandika Aksara Pena. Berikut isi kutipannya:
Mengembara Dalam Pena
Ruang imaji terus bergerak
Menyeruak bebas merdeka
Menggapai pena dalam catatan aksara
Berkelana asa gapai cita
Jasad yang terbelenggu rantai besi
Takkan pernah tertawan apalagi mati
Ketika goresan pena menembus batin
Bergelora mengguncang dunia
Jika sang waktu terus bergulir
Beredar zaman demi zaman
Biarlah goresan aksara pena
Terpahat dalam semua hati insan
Gilasan roda sang waktu
Melukis karya warisan agung
Kelak kau kan selalu dikenang
Walau jasadmu berkalang tanah
(Patas-Ende, 26 Juli 2022)
Sensivitas beliau terhadap semua persoalan yang terjadi menjadikan beliau sebagai penulis yang mengangkat berbagai tema dengan sangat produktif bila dilihat dari hasil karya tulisan-tulisan beliau yang telah terpublikasi dan dibukukan. Ia telah menulis lebih dari 50 judul buku, menjadi kolomnis di berbagai surat kabar dan media online baik itu artikel maupun esay. Saya yakin suatu saat beliau akan dikenal dan dikenang oleh generasi berikutnya lewat amal jariyah melalui goresan pena yang telah beliau wariskan sebagai legasi agung yang takkan hilang ditelan zaman sebagaimana yang telah disampaikan oleh penulis terkenal sekelas Pramoedya ananta Toer “Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis,ia akan hilang dalam masyarakat dan dalam sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”.
Selamat brother, selamat karena akan memasuki usia yang ke-40 tahun. Engkau telah matang sebelum memasuki usia tersebut lewat karya-karya yang telah engkau goreskan pada buku dan pada berbagai platform media baik itu media cetak maupun media sosial. Semoga selalu mendapatkan keberkahan dari Allah Subhanahu Wata’ala.
*Penulis adalah Guru MAN Ende

——————
Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan /atau keberatan dengan penayangan artikel dan /atau berita tersebut diatas, Anda dapat mengirimkan artikel dan /atau berita berisi sanggahan dan /atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang_undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: globalindonews74@gmail.com
Kunjungi juga kami