Cerita dari Pulau Buaya Alor, Butuh Sentuhan Politik

Oleh : Akhmad Bumi, SH, Caleg Propinsi NTT, Nomor Urut 2, Dapil 6, Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Kalabahi, GlobalIndoNews – Hari Minggu, 24 Desember 2023, kami berangkat dari Kalabahi menuju pasar Baolang, Alor. Menempuh jarak sekitar 30 menit melalui jalan darat menggunakan mobil, berangkat dari Kalabahi pukul 6.30 wita.
Tiba dipasar Baolang, Alor sekitar pukul 7.00 pagi. Tidak lama berselang, perahu motor dari Pulau Buaya sandar dibibir Pantai Baolang. Tampak lelaki bernama Hamid lompat turun dari perahu dan berjalan menuju pantai tempat kami menunggu perahu.
”Ayo kita berangkat sudah pak Akhmad”, ujar Hamid, lelaki Pulau Buaya yang telah berusia diatas 60 tahun.
Kami bergegas menuju perahu yang sedang berlabuh. Setelah berada dalam perahu, mesin motor dihidupkan, kapalpun berlayar menuju pulau buaya. Berlayar sekitar 30 menit dari pantai Baolang ke Pulau Buaya.
Tidak lama berselang, kamipun tiba. Tiba dipantai Pulau Buaya, kami melompat turun ke pantai. Maklum belum ada dermaga dipulau itu. Celana basah hingga ke lutut. Kamipun turun dan bergegas menuju rumah bapak Hamid yang tidak jauh dari pantai.
Tiba dirumah bapak Hamid, bersalaman dengan istri Hamid dan cucu-cucunya, kami dipersilahkan duduk dikursi. ”Silahkan duduk pak Akhmad”, ujar Hamid.
Tas ransel saya diangkatnya dan dibawah masuk ke kamar. “Ini kamar pak Akhmad, ini rumah pak Akhmad juga”, ungkap Hamid.
Tidak lama berselang, istri Hamid suguhkan kopi dan kue. “Silahkan minum pak Akhmad. Ini kue, silahkan ambil”, ungkap Hamid lagi dengan ramah.

Sambil menikmati kopi, sambil cerita. Bercerita apa adanya, cerita soal kehidupan penduduk pulau. Satu malam di Pulau Buaya. Banyak hal terbaca dan terekam dalam memori. Warganya ramah dan kehidupan warga pulau yang unik.
Warga pulau buaya mayoritas bermata pencaharian petani dan nelayan, juga penenun kain tenun Alor.
Desa Pulau Buaya dengan jumlah penduduk sekitar dua ribu lebih, dan jumlah pemilih (DPT) sekitar seribu lebih, 6 TPS.
Ada kehidupan yang unik. Tampak sebagian warga mandi menggunakan air laut, begitupun wudhu untuk shalat. Ketiadaan air bersih.
Air bersih diambil dari Baolang atau diseberang menggunakan perahu atau bodi, satu drum plastik air bersih dijual dengan harga Rp25.000, itupun sekedar untuk masak dan minum.
Hampir setiap rumah terlihat ada tandon air. Untuk menampung air, juga menadah air hujan jika musim hujan tiba.
Didepan rumah warga ada tumpukan pasir. Awalnya dipikir, tumpukan pasir untuk membangun rumah atau bangunan. Tapi tumpukan pasir untuk tidur malam. Tampak ibu-ibu dengan anak-anak tidur diatas pasir hingga pagi hari.
Tepat jam tiga dini hari saya bangun saat itu, Bergegas untuk ambil air wudhu diluar rumah, untuk shalat malam. Saya melihat didepan rumah, tampak ibu-ibu dan anak kecil tidur pulas diatas pasir. Demikian juga tetangga sebelah rumah dan sekitar.
Menurut warga, didalam rumah terlalu panas, jadi tidur diluar rumah. Tidur malam hingga pagi. Kecuali hujan turun.
PLN (Perusahaan Listrik Negara) atau PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) tidak ada, hanya menggunakan lampu solar cell atau sel surya atau sel fotovoltaik, dengan bantuan sinar matahari, adanya cahaya matahari dapat menciptakan energi listrik.
Menyala hanya pada malam hari, penggunaan dibatasi. Kalau memakai lebih, lebih awal juga padam. Jam 5 pagi lampu sudah padam.
Pulau yang unik itu telah melahirkan banyak sarjana, penduduk cukup padat didesa itu, banyak anak-anak pulau itu yang sekolah diluar; Kupang, Jawa hingga Sulawesi.
Setiap lima tahun, warga selalu sumbangkan suara untuk anggota DPRD Alor, khusus dapil V, begitupun DPRD propinsi dan pusat. Tampak dipulau buaya, baliho-baliho caleg terpasang disekitar rumah warga dan dipantai.
Menurut cerita warga, setelah terpilih menjadi anggota DPRD, pulau Buaya kurang diperhatikan atau jarang disentuh kebijakan.
Stunting dan manusia pendek, NTT menempati urutan teratas atau pertama nasional. Dalam benak saya, bagaimana mengatasi stunting, kalau soal pangan tidak diperhatikan dengan baik.
Saya perhatikan anak-anak yang bermain dihalaman rumah dengan segala keunikan. Anak-anak yang dibentuk dengan karakter alam yang keras.
Banyak hal terbaca dipulau itu. Diantaranya soal stunting, air bersih, kebersihan, energi, pangan, lingkungan hingga transportasi.
Dipantai ada terlihat tumbuh pohon beringin, tumbuh dengan rindang. Pohon beringin ini mampu memberikan pengaruh dalam pengisian air tanah dengan akarnya.
Akar pohon Beringin yang besar mampu menyimpan air dalam jumlah banyak, beringin mampu mengendalikan penguapan serta memberikan pengaruh dalam penyerapan aquifer. Butuh sentuhan kebijakan, tekhnologi dan keberanian politik.
Saya tidak sempat ke gunung untuk melihat lebih dekat struktur tanah, luas lahan, air dan lain-lain. Apa dapat dikembangkan pertanian atau tidak. Rata-rata petani ladang dipulau itu. Menunggu musim hujan tiba.
Yang lebih serius dikembangkan adalah perikanan dan kelautan. Rata-rata penduduk pulau itu adalah nelayan tradisional.
Transportasi pengangkut air dengan kapasitas minimal 5000 liter atau satu tangki setiap hari perlu dipikirkan. Air diangkut dari seberang Baolang. Perlu disiapkan bak induk penampung air yang diangkut dari Baolang.
Selain ada bak penampung, perlu dipikirkan untuk distribusi air kerumah-rumah warga. Warga pulau buaya layak mendapatkan hidup yang layak. Ini tugas dan tanggungjawab pemerintah dan DPRD.
Kebijakan baik kabupaten, propinsi dan nasional dibutuhkan. Terutama pengembangan secara terintegrasi. Butuh riset atau penelitian untuk pengembangan pembangunan terkhusus daerah-daerah pulau, terluar dan terpencil.
Kebutuhan paling mendesak dipulau itu adalah air bersih. Banyak alternatif untuk air bersih dipulau buaya. Jangka pendek dapat mengggunakan pengangkutan manual, siapkan armada pengangkut air dan bak penampung. Ini dapat dilakukan melalui intervensi kebijakan.
Jangka panjang dapat menggunakan pipa air bawah laut seperti di Gili Ketapang, kabupaten Probolinggo Jawa Timur. Butuh ahli untuk riset karena pulau Buaya berhadapan dengan arus yang kuat diteluk, ada pertemuan arus.
Dibutuhkan pipa air yang mampu menahan arus yang bisa mengalirkan air dari Baolang ke pulau Buaya. Jarak Baolang ke pulau Buaya sekitar kurang lebih 10 kilo meter.
Solusi jangka Panjang lainnya dengan melakukan reboisasi dengan menanam pohon beringin atau sejenis ficus. Beringin adalah pohon penampung air.
Embung juga bisa dijadikan solusi untuk permasalahan air. Embung mampu menampung air hujan. Tapi pembangunan embung harus ada daerah tangkapan air, selain itu embung juga memiliki penguapan tinggi.
Pulau Buaya tampaknya tidak ada daerah atau kawasan tangkapan air, pulau dengan suhu panas yang tinggi. Setiap kali dilakukan pengeboran air rasanya tetap asin seperti air laut. Pulau buaya butuh sentuhan politik dan layak mendapat penghidupan yang layak.[]
————
Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan /atau keberatan dengan penayangan artikel dan /atau berita tersebut diatas, Anda dapat mengirimkan artikel dan /atau berita berisi sanggahan dan /atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: globalindonews74@gmail.com
