Ketika Orang Pintar Pun Menjadi Jongos

Ketika Orang Pintar Pun Menjadi Jongos

 

– Menyambut Pertunjukkan Teater di Jogjakarta: The Jongos

Oleh: Denny JA

“Di Luar Oligarki, Semua Hanyalah Korban.”

Ini kalimat pembuka dari skenario teater yang mengambil judul the Jongos.

Membaca kalimat pembuka itu,
seketika saya mengembangkan imajinasi. Oligarkhi  di tanah air begitu sering dibicarakan. Naskah ini mungkin kritik sosial atas praktek oligarkhi yang ada, terhadap kondisi ekonomi dan politik yang semakin didominasi oleh segelintir orang saja.

Judul The Jongos itu juga membangkitkan dugaan. Apakah pertunjukkan teater kali ini ingin membuka mata, betapa kini orang- orang pintar, intelektual, aktivis, politisi hanya menjadi The Jongos saja, menjadi babu saja dari majikan penguasa?

Sayapun membaca cuplikan awal dialog karakter di naskah itu.

KOTTO:

“Ya wajar dong! Karena hanya orang berkuasa dan kaya yang berhak marah!”

BUSRIL:

“Tapi kita juga berhak tersinggung dan marah?”

KOTTO:

“Oh ya enggak, (pause) Hak kita hanya untuk dimarahi. Itulah kodrat jongos yang sejati. Paham?”

BUSRIL:

“Wah ya ndak bisa. Ndak bisa. Kita setara. Ini harus didobrak! Biar egaliter!”

KOTTO:

“Egaliter..egaliter ndas situ! (pause) He, kamu mesti ingat ajaran leluhur perjongosan.

Sejongos-jongosnya Jongos yang radikal, masih lebih baik jongos yang selalu siap ditindas (tertawa).”

-000-

Naskah The Jongos ditulis oleh Indra Tranggono. Yang menjadi sutradara Isti Nugroho. Naskah dimainkan oleh Teater Dapoer Seni Djogja. Pentas teater ini untuk tanggal 10 Agustus 2024, di Auditorium, Jurusan ISI, Jogjakarta.

Pesannya memberikan kritik tajam terhadap sistem oligarki dan ketidakadilan yang merajalela. Cerita ini berpusat pada Tuan Hakim, simbol dari sistem hukum yang korup dan tunduk pada kekuasaan oligarki.

Pesan utamanya: di luar kelompok oligarki yang berkuasa dan kaya, semua orang hanyalah korban dari sistem yang korup dan tidak adil.

Skenario ini dimulai dengan Prof Dr Pras Jikmo yang memberikan jubah kepada Tuan Hakim. Itu simbol penyerahan kekuasaan.

Panggung terdiri dari tiga level yang menunjukkan hierarki sosial. Tuan Hakim di level atas. Busil serta Kotto, sebagai jongos atau pelayan, di bawah.

Lagu “Pergi Tanpa Pesan” yang dinyanyikan oleh Busil membuka cerita. Lagu itu bersuasana muram, menggambarkan ketidakadilan yang mereka alami.

Dialog antara Busil dan Kotto mencerminkan ketidakpuasan mereka terhadap sistem yang ada. Mereka berbicara tentang keadilan yang tidak pernah datang dan bagaimana mereka hanya menjadi alat bagi para penguasa.

Ketegangan meningkat ketika Tuan Hakim menunjukkan ketidakpuasannya.  Hidupnya penuh tekanan dan godaan korupsi.

Prof Dr Pras Jikmo datang menekan. Kekuasaan harus dipertahankan dengan segala cara. Tak apa, meskipun itu mengorbankan integritas.

Klimaks cerita terjadi ketika Tuan Hakim menerima hadiah-hadiah dari oligarki.  Hakim merasakan beban moral dan dosa. Itu hadiah atas keputusan-keputusannya yang tidak adil.

Tuan Hakim akhirnya meledakkan dirinya sendiri. Itu simbol kehancuran moral yang ditimbulkan oleh sistem korup.

Busil dan Kotto mendiskusikan nasib mereka setelah kematian tuan mereka sang hakim.  Apakah mereka memilih tunduk atau menolak oligarki?

Beranikah mereka tak menjadi The Jongos bagi oligarkhi, meskipun berarti mereka harus hidup sebagai gelandangan?

Karakter-karakter dalam skenario ini, terutama Tuan Hakim, ditampilkan dengan kompleksitas moral. Terjadi  pergulatan batin antara integritas dan korupsi.

Dialog yang tajam dan lucu, juga penggunaan simbolisme memperkuat pesan moral yang disampaikan.

-000-

Teater memang telah lama digunakan sebagai medium untuk menyampaikan kritik sosial. Ia memberikan suara kepada yang tertindas, dan mengajak penonton untuk berpikir kritis tentang isu-isu masyarakat. (1)

Membaca naskah The Jongos, saya pun teringat simbolisme dari
“The Crucible.” Naskah ini ditulis oleh Arthur Miller pada tahun 1953. Drama ini menggambarkan perburuan penyihir Salem pada abad ke-17.

Tetapi itu sebenarnya merupakan alegori untuk McCarthyism di Amerika Serikat pada 1950-an. Itu era ketika begitu banyak seniman, intelektual dan politisi yang diburu karena diduga bagian dari jaringan komunisme.

Perburuan atas para komunis  (diduga) abad 20 itu mirip seperti perburuan atas penyihir (diduga) abad 17.

Miller menggunakan cerita tentang John Proctor, seorang petani yang dituduh sebagai penyihir tanpa bukti konkret. Ini untuk mengkritik paranoia yang menghancurkan kehidupan individu.

Pesan utama dari “The Crucible” adalah peringatan terhadap bahaya dari ketakutan kolektif. Ketidak adilan dapat terjadi ketika masyarakat dipenuhi kebencian plus prasangka, walau tidak berdasar.

Lalu The Jongos dan Hakim
dalam teater Indra Trenggono dan Isti Nugroho ini simbolisme dari peristiwa apakah?

Apakah hakim dalam naskah itu untuk mengeritik hakim MK yang meloloskan Gibran maju dalam Pilpres 2024? Apakah The Jongos itu sebagai kritik terhadap banyak pemikir, intelektual yang hanya menjadi babu dari majikan penguasa?

Penonton tentu dapat menjawab dan mengembangkan prasangkanya sendiri. Teater kritik sosial memang fungsinya memberi umpan bola lambung saja. Penonton sendiri yang harus melanjutkan umpan bola lambung itu. ***

Jakarta, 21 Juli 2024.

CATATAN

(1) Teater kritik sosial:

https://www.jstor.org/stable/1125047

———————

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan /atau keberatan dengan penayangan artikel dan /atau berita tersebut diatas, Anda dapat mengirimkan artikel dan /atau  berita berisi sanggahan dan /atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang_undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: globalindonews74@gmail.com 

Kunjungi juga kami

di www.globalindonews.com