Masa Jabatan Ketum DPN Peradi Tetap Konstitusional, Ini Penjelasan Fahri Bachmid

Jakarta, GlobalIndoNews – Secara hukum, Ketua Umum Peradi saat ini dapat menjabat, menuntaskan masa jabatan hingga selesai, dan menjalankan tugas-tugas konstitusional berdasarkan kewenangan dalam UU Advokat.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Dr. Fahri Bachmid, S.H., M.H. berpendapat, secara konstitusional sesungguhnya tidak ada dampak serta implikasi yuridis apa pun terhadap kedudukan serta eksistensi Ketua Umum DPN Peradi Prof. Dr. Otto Hasibuan, S.H., M. M. pasca-dibacakannya Putusan MK Nomor 91/PUU-XX/2022.
Secara hukum, Ketua Umum Peradi saat ini dapat menjabat serta menuntaskan masa jabatan hingga selesai. “Hakikatnya, itu merupakan perintah konstitusional yang dirumuskan dalam putusan MK Nomor 91/PUU-XX/2022. Sehingga, Ketua Umum DPN Peradi Otto Hasibuan tetap dapat menjalankan tugas-tugas konstitusional berdasarkan kewenangan yang diatur dalam UU RI No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat,” kata Fahri.
Fahri Bachmid melanjutkan, hal tersebut sebagaimana terdapat dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi, khususnya pada halaman 41, poin (3.18) dengan legal reasoning sebagai berikut:
Menimbang bahwa dengan telah dinyatakannya Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 inkonstitusional secara bersyarat sebagaimana dipertimbangkan pada Paragraf [3.17], di mana secara faktual sangat mungkin terdapat pimpinan organisasi advokat yang sedang memegang jabatan yang sama lebih dari 2 (dua) periode sebelum putusan a quo.
Maka untuk alasan kepastian hukum dan tidak menimbulkan persoalan dalam organisasi advokat, pimpinan organisasi advokat yang bersangkutan tetap menjalankan tugasnya hingga berakhir masa jabatannya dan selanjutnya pengisian masa jabatan pimpinan organisasi advokat disesuaikan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 sebagaimana putusan a quo.
“Mendasari ratio decidendi/legal reasoning sebagaimana pertimbangan hukum putusan MK tersebut, maka tentunya ini sangat imperatif, tentang keadaan hukum yang secara faktual telah di mitigasi oleh mahkamah agar tercipta suatu tertib sosial pada entitas organisasi advokat itu sendiri,” Fahri menambahkan.
Ia juga berpendapat, terlepas dari jalan keluar serta saluran konstitusional yang telah dibuat sendiri oleh Mahkamah dalam putusan a quo terkait implikasi konstitusional maupun yuridis terhadap peristiwa konkret di internal OA—misalnya, dengan membolehkan ketua umum OA yang saat ini menjabat untuk menyelesaikan masa jabatan sesuai periode masa jabatan.
“Berdasarkan ketentuan norma Pasal 47 UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menentukan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum,” ujar Fahri.
Namun, putusan Mahkamah Konstitusi berlaku prospektif ke depan (foreward looking), dan tidak berlaku retrospektif ke belakang (backward looking). Dengan demikian, segala subjek perbuatan hukum dan subjek hukum yang sah menurut rezim hukum lama (sebelum putusan Mahkamah Konstitusi diucapkan), tetap harus dianggap sah adanya setelah rezim hukum baru (sesudah berlakunya putusan Mahkamah Konstitusi).
“Sehingga segala perbuatan hukum yang berkaitan dengan serta dengan sandaran norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 yang tidak mengatur mengenai pembatasan masa jabatan pimpinan organisasi advokat karena ketentuan mengenai masa jabatan pimpinan organisasi advokat dituangkan ke dalam bagian susunan organisasi advokat yang diatur dalam AD/ART organisasi advokat sesuai ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU 18/2003, haruslah dipandang serta dimaknai sebagai sesuatu yang konstitusional sebelum putusan mahkamah yang menyatakan sebaliknya,” kata Fahri.
Sebelumnya, pada Senin (31/10), Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa ketua umum organisasi advokat hanya dapat menjabat maksimal dua periode untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua MK Anwar Usman saat membacakan Putusan MK Nomor 91/PUU-XX/2022 yang disiarkan di kanal YouTube MK.
“Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama lima tahun dan hanya dapat dipilih kembali satu kali dalam jabatan yang sama, baik secara bertutur-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah,” kata Anwar.
Model Putusan Limited Constitutional
Secara teoretis, Putusan MK Nomor 91/PUU-XX/2022 tergolong dalam model putusan yang pemberlakuannya ditunda (limited constitutional). Pada khasanah peradilan konstitusi, limited constitustional berarti menoleransi berlakunya aturan yang sebenarnya bertentangan dengan konstitusi hingga batas waktu tertentu. Ini berbeda dengan model putusan conditionally constitutional atau conditionally unconstituional: aturan yang pada saat diputuskan dinyatakan tidak bertentangan atau bertentangan dengan konstitusi.
Fahri mengungkapkan, model putusan limited constitustional bertujuan memberi ruang transisi aturan yang bertentangan dengan konstitusi agar tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai waktu tertentu, karena disadarkan atas pertimbangan kemanfaatan.
“Putusan MK a quo ini tergolong dalam paradigma putusan yang bercorak Model putusan yang pemberlakuannya ditunda (limited constitutional), artinya MK dalam Putusan Nomor 91/PUU-XX/2022, dengan amarnya adalah mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian; dan menyatakan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4288) yang menyatakan, ‘Pimpinan Organisasi Advokat tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat Pusat mupun di tingkat daerah’,” Fahri menjelaskan.
Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali satu kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah’.
Namun, sepanjang berkaitan dengan kedudukan pimpinan organisasi advokat yang sedang memegang jabatan yang sama lebih dari dua periode sebelum putusan MK ini dapat ditoleransi, dengan argumentasi MK bahwa di mana secara faktual sangat mungkin terdapat pimpinan organisasi advokat yang sedang memegang jabatan yang sama lebih dari dua periode sebelum putusan a quo.
“Maka untuk alasan kepastian hukum dan tidak menimbulkan persoalan dalam organisasi advokat, pimpinan organisasi advokat yang bersangkutan tetap menjalankan tugasnya hingga berakhir masa jabatannya dan selanjutnya pengisian masa jabatan pimpinan organisasi advokat disesuaikan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 sebagaimana putusan a quo,” pungkas Fahri Bachmid.(Red)
Sumber: hukumonline.com (1/11/2022)
———————
Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan /atau keberatan dengan penayangan artikel dan /atau berita tersebut diatas, Anda dapat mengirimkan artikel dan /atau berita berisi sanggahan dan /atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang_undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: globalindonews74@gmail.com
Kunjungi juga kami
di www.globalindonews.com