Menelisik Modus Pemerasan oleh Oknum Penyidik Bareskrim Polri dalam Penanganan Kasus Madu Klanceng
_Oleh: Wilson Lalengke_
Jakarta, GlobalIndoNews – Ternyata perilaku para penyidik di Bareskrim Polri, khususnya di Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus, belum terlihat tanda-tanda perbaikan. Yang ada malah semakin memburuk. Pola kerja penyidikan terhadap sebuah kasus tetap ujung-ujungnya harus mengarah kepada ‘pemerasan’ terhadap mereka yang berurusan hukum di kantornya Jenderal Listyo Sigit Prabowo ini.
Modus pemerasan yang diterapkan terhadap para pihak, umumnya dapat dibedakan atas dua pola. Pertama, penyidik secara aktif melakukan pendekatan ke obyek pemerasan. Hal ini sebagaimana dilakukan mantan penyidik Bareskrim Polri, AKBP (Purn) Dr. Binsan Simorangkir, S.H., M.H. yang pernah diinvestigasi Tim Cacing Tanah Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) November 2020 lalu.
Berita terkait di sini: Pak Kapolri, AKBP Binsan Simorangkir Palak Warga, Ini Hasilnya (https://pewarta-indonesia.com/2020/11/pak-kapolri-akbp-binsan-simorangkir-palak-warga-ini-hasilnya/); dan rangkaian cerita tentang kasus ini di sini: https://pewarta-indonesia.com/?s=binsan+simorangkir
Pola kedua, dan ini yang lebih sering dilakukan, adalah penyidik pasif alias tidak melakukan persuasi apapun kepada korban maupun pelapor sebagai target pemerasan. Bolehlah kita istilahkan pola ini sebagai pemerasan secara halus berbungkus persahabatan, saling menolong, bahkan kekeluargaan.
Namun, bukan berarti penyidik diam saja tanpa usaha dalam mewujudkan impiannya, mendapatkan setoran dana dari target. Para oknum penyidik bermental hedon dan haus jabatan itu justru sangat aktif mengupayakan agar target operasi tergiring ke dalam proses pemerasan secara halus tadi.
Caranya? Gampang! Mainkan proses penyidikan. Terdapat ribuan strategi yang bisa dijalankan dalam proses mendapatkan setoran dana dari target, baik dari pelapor maupun terlapor. Tentu saja para oknum itu tidak menyasar sembarang target. Mereka melakukan profiling terhadap calon ATM terlebih dahulu.
Para oknum polisi itu akan sangat gembira ketika kedua pihak, pelapor dan terlapor, merupakan warga dengan tingkat ekonomi dan keuangan yang maha besar. Keduanya dapat dijadikan sasaran pemerasan. Mungkin saja gagal salah satunya, tapi gagal keduanya ibarat hil yang mustahal.
Dalam kasus pemerasan atau pemalakan yang dilakukan oleh Binsan Simorangkir, misalnya, yang bersangkutan bersama team penyidiknya, memeras kedua belah pihak, pelapor dan terlapor. PPWI saat itu lebih banyak mengusut pemerasan terhadap terlapor, Direksi PT. Kahayan. Sementara itu, disinyalir kuat para oknum tersebut juga bermain mata dengan pelapor, bernama Mimihetty Layani, pemilik PT. Kopi Kapal Api, Surabaya.
Yang dapat dipastikan, berdasarkan bukti-bukti yang ada, pelaku pemerasan/pemalakan saat itu adalah Binsan Simorangkir dan atasannya Kasubdit IV Tipideksus bernama Kombespol Victor Togi Tambunan. Oknum Kasubdit ini menerima dana cash Rp. 20 juta rupiah dari terlapor.
Dalam beberapa kasus lainnya, modus yang dijalankan adalah melakukan penyidikan di tempat kediaman atau di kota domisili terlapor. Dalam proses penyidikan di tempat terlapor semacam ini, penyidik akan meminta disiapkan dana perjalanan, akomodasi, makan-minum, uang saku, dan biaya entertain. Jangan kaget jika para oknum itu datang berombongan hingga belasan orang, dan minta ‘diperjalankan’ melancong ke Bali, Singapore, Malaysia, bahkan ke Pattaya, Thailand.
Alasan untuk melakukan proses penyidikan kasus dengan pola yang ‘nyeleneh’ dan absurd cukup banyak. Dalam perkara yang sedang diadvokasi PPWI saat ini, yakni kasus investasi bodong Koperasi Niaga Mandiri Sejahtera – Niaga Mandiri Sejahtera Indonesia (NMS/NMSI), oknum penyidik Subdit V Dittipideksus Bareskrim Polri yang menangani kasusnya menggunakan alibi ‘pertimbangan obyektif dan subyektif’.
Ketika ditanyakan alasan pertimbangan subyektif secara detail, penyidik Iptu Eko Puwanto tidak dapat menjelaskan. Berkali-kali diminta menjelaskan tentang maksud pertimbangan subyektifnya, si oknum penyidik yang bergelar sarjana hukum itu tetap tidak mau merinci terkait pertimbangan subyektif tersebut.
Akhirnya, kita hanya bisa bertanya kepada rumput yang bergoyang, meminjam diksi lagunya maestro musik Indonesia, Ebiet G. Ade. Dari rumput yang bergoyang itu, publik paham bahwa alasan subyektif itu adalah ‘penyidik sudah masuk angin’ alias telah disuap sejumlah uang rokok, uang kopi, uang jalan, uang entertain, dan berbagai macam uang lainnya.
“Ijin, Bang Lalengke, penyidik Bareskrim itu sudah masuk angin, jadi dia banyak alasan untuk tidak melakukan penahanan terhadap tersangka.” Demikian pesan suara yang dikirimkan oleh seorang pengacara, sahabat saya yang banyak berurusan dengan kasus hukum di Mabes Polri, Sabtu, 28 September 2024.
Walaupun namanya uang rokok, jangan mengira bahwa jumlahnya hanya seratus-duaratus ribuan yaa. Miliaran..!! Disklaimer, jangan minta saya membuktikannya boss. Sebab namanya masuk angin, maka pasti sama dan sebangun dengan keluar angin alias kentut, berbau tapi tak dapat dilihat, tak dapat dibuktikan siapa yang kentut.
Kemana saja angin busuk itu bergerak atau mengalir? Tentunya dibagi-bagi kepada semua anggota team. Paling besar, yaa kepada atasan para penyidik itu. Mengalirnya sampai jauh. Bahkan mungkin sampai ke oknum direkturnya hingga ke bintang 3 bintang 4. Dan, sangat mungkin oknum istana kecipratan setoran dari para wereng coklat itu. Namanya dana pengamanan. Posisi, jabatan, modus operandi, dan program kerja harus aman dan damai selalu.
Lanjut ke perkara madu klanceng yang laris manis menghipnotis ribuan warga yang tertipu di segenap penjuru tanah air, cara kerja oknum penyidik Bareskrim, Bagus Adi Suranto dan Eko Purwanto, benar-benar terkesan licik. Dalam penanganan kasus NMS/NMSI ini, sikap dan penjelasan mereka mbulet alias berbelit-belit. Hal tersebut mengindikasikan bahwa mereka berupaya menutupi kebobrokan kinerja yang sudah masuk angin dalam penanganan kasus yang merugikan banyak orang itu.
Kenapa para tersangka belum ditangkap dan ditahan walau sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak Oktober 2023 tahun lalu? “Oh, itu ada alasan obyektif dan alasan subyektif dari penyidik,” kilah Eko Purwanto menjawab pertanyaan pengacara para korban, Advokat Dolfie Rompas, S.Sos., S.H., M.H., saat mendatangi ruang Subdit V Dittipideksus Bareskrim Polri, Jl. Trunojoyo No. 3, Jakarta Selatan, Jumat, 27 September 2024.
Ada alasan yang lebih aneh lagi dan di luar nalar orang waras yang berakal sehat. Saat dipertanyakan soal penangkapan salah satu tersangka bernama Chrisma Dharma Ardiansyah (Ketua Koperasi NMS) yang baru dilakukan pada 25 September 2024 kemarin, Eko Purwanto mengatakan bahwa karena yang bersangkutan mencalokan diri menjadi anggota DPRD Kediri di pemilu legislatif 2024 lalu.
“Sebab yang bersangkutan kemarin itu mencalokan diri dalam pemilihan legislatif, jadi belum kita tangkap. Sekarang karena yang bersangkutan tidak lolos, kita baru bisa tangkap dan serahkan ke Jaksa,” jawabnya beralasan.
Pertanyaan sederhananya, jika si tersangka itu lolos jadi anggota dewan, piye kabare penegakan hukum terhadap si kriminal Chrisma Dharma Ardiansyah itu om Kapolri Listyo Sigit Prabowo? “Embuh..!! Koq tanya saya?” (*)
_Penulis adalah rakyat Indonesia yang prihatin atas kinerja gerombolan wercok!_
———————
Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan /atau keberatan dengan penayangan artikel dan /atau berita tersebut diatas, Anda dapat mengirimkan artikel dan /atau berita berisi sanggahan dan /atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang_undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: globalindonews74@gmail.com
Kunjungi juga kami
di www.globalindonews.com