Perppu Ciptaker, Membuat Peta Hukum Baru Indonesia?

IMG_20221218_104754 (1)

 

Oleh Akhmad Bumi

Hukum itu bahagian dari politik. Atau hukum itu politik dalam bentuk lain. Legislasi di DPR, bagian dari alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. Tugasnya menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU), juga menerima RUU yang diajukan.

DPR menyetujui atau tidak menyetujui calon-calon hakim agung, hakim MK, demikian juga Kapolri, Panglima TNI, komisi-komisi seperti KPK, Komnas HAM dst. 

Siapa yang berkuasa secara politik, akan mempengaruhi wajah hukum Indonesia. Kalau penguasa kalam, hukum akan kalam. Demikian sebaliknya, kalau penguasa bengis, hukum juga akan bengis.

Itu pilihan politik bangsa Indonesia. Berbeda dengan sistem anglo saxon, hukum dibuat atau diusulkan masyarakat, di endorse ke pengadilan atau hakim. Pengadilan atau hakim sebagai pembuat hukum (kebiasaan) yang kemudian disebut common law.

Ide Negara Hukum (rechtsstaat) yang dianut Indonesia, diproduk secara politik, kemudian dituangkan dalam konstitusi. Konstitusi menjadi panduan dalam penyelenggaraan kekuasaan (bernegara). Dengan konstruksi demikian, maka  sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang. Dalam istilah yang dikembangkan oleh A.V. Dicey menyebutkan dengan “rule of law, and not of Man”.

Ciri-ciri Rule of Law menurut A. V Dicey (1952): 1) Supremacy of Law, dominasi hukum meniadakan kesewenang-kesewenangan penguasa. 2) Equality Before the Law, persamaan didepan hukum, tidak ada orang yang merasa berada paling diatas atau paling besar dari hukum. 3) Due Prosess of Law, terjaminnya hak-hak manusia secara adil.

Carut marut hukum Indonesia terletak pada praktek berhukum, salah satunya saat membuat hukum. Koruptif, manipulasi, dan kesepakatan mendahului diruang gelap membayangi setiap proses pembuatan hukum. Akhirnya produk sebuah UU tidak berumur panjang, selalu menimbulkan kegaduhan dan terus dilakukan judicial review. Tidak pernah sepi dari keramaian publik.

RUU Ciptaker, sikap transparansi DPR dan pemerintah tidak terlihat saat merumuskan dan membahas UU Cipta Kerja. Bahkan publik kesulitan mengakses sama sekali. Padahal partisipasi publik dan sosialisasi (uji publik) adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah RUU yang diajukan dan dibahas.

Sekitar 79 undang-undang (UU) dengan 1.000 lebih lebih pasal itu dikerjakan tanpa proses-proses pengayaan wacana, juga pembahasan RUU Cipta Kerja tidak melibatkan stakeholder terkait. Padahal melibatkan stakeholder sangat penting dalam proses pembentukan sebuah UU.

UU Ciptaker, terjadi hiruk pikuk. Para mahasiswa, Guru Besar, Dekan, akademisi, buruh, aktivis NGO ramai-ramai turun ke jalan. Lakukan protes dan menolak RUU Cipta Kerja ditetapkan menjadi UU. Tapi akhirnya RUU Cipta Kerja disetujui DPR menjadi UU, kemudian diundangkan oleh Presiden menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Setelah diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker), diajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi oleh Migrant CARE, Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat, Mahkamah Adat Minangkabau, serta Muchtar Said.

Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pemohon dan “Menyatakan  pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan’. Menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini.

Dalam pertimbangan hukum, MK menyatakan  tata cara pembentukan UU Cipta Kerja tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang (cacat formil). Kemudian dalam pembentukan UU Cipta Kerja, terjadi perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden.

MK dalam pertimbangannya menghendaki agar membuka ruang partisipasi publik secara maksimal, dan membuka akses kepada masyarakat untuk memberikan masukan secara lisan atau tertulis sesuai Pasal 96 ayat (4) UU 12 tahun 2011.

Dalam putusan MK sejumlah 448 halaman tersebut, Mahkamah juga memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.

Perintah MK tersebut adalah untuk memperbaiki UU Ciptaker secara normal sebagaimana seharusnya produk sebuah UU dilakukan.

Presiden terbitkan Perppu Ciptaker, mengabaikan perintah Mahkamah untuk memperbaiki UU Ciptaker secara normal. Dengan tidak melakukan perbaikan UU Ciptaker secara normal tapi dilakukan dengan jalan pintas melalui Perppu, dianggap Presiden telah menganulir keputusan MK. Putusan MK bersifat final dan mengikat, tidak ada ruang untuk melakukan upaya hukum lagi dan mengikat seluruh warga Indonesia termasuk Presiden dan Mentri Polhukam.

Konsekwensinya putusan MK harus dijalankan, melakukan revisi secara mekanisme normal. Melakukan sosialisasi dengan melibatkan partisipasi publik secara maksimal dan melakukan revisi (2 tahun), bukan mengubahnya dengan Perppu. Ini dapat ditafsirkan sebagai bentuk pembangkangan kepada konstitusi (UUD 1945). Perppu berdampak buruk pada dunia hukum secara luas. Eksekutif dapat menganulir putusan lembaga yudikatif (peradilan) yang telah berkekuatan hukum tetap.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja menggugurkan status inkonstitusional bersyarat yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi (MK).

Presiden Jokowi menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Perppu itu merevisi sejumlah aturan dalam UU Cipta Kerja. Inkonstitusional bersyarat gugur saat pemerintah merevisi melalui undang-undang. Hukum Indonesia mengakui Perppu sebagai peraturan hukum setingkat undang-undang.(CNN Indonesia 30/12/2022).

“Iya dong, begini, inkonstitusional bersyarat itu artinya sesuatu dinyatakan inkonstitusional sampai dipenuhinya syarat-syarat tertentu, dipenuhinya syarat-syarat tertentu itu dipenuhi di UU, karena ada kebutuhan mendesak. Kita tidak menunggu UU baru tapi membuat Perppu, karena Perppu itu setara dengan UU di dalam tata hukum kita, kalau ada alasan mendesak, itu bisa mengeluarkan Perppu.(detiknews 30/12/2022).

Pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD diatas mengabaikan Putusan MK. Dalam putusan MK, tidak terdapat amar putusan yang memerintah diperbaiki UU Ciptaker melalui Perppu. Tapi diperbaiki sesuai mekanisme UU yang normal. 

Kalau Perppu, prosesnya tidak seperti proses UU yang normal, karena Perppu diterbitkan dalam situasi atau keadaan genting yang memaksa. DPR hanya menyatakan menolak atau menerima Perppu yang diajukan (Pasal 52 ayat 3 UU Nomor 12 Tahun 2011). Tidak ada lagi partisipasi publik sebagaimana putusan MK, tidak ada lagi pembahasan sebagaimana mestinya.

Dalam putusan MK, UU Ciptaker tidak memenuhi syarat formil karena dilakukan proses tidak sesuai UU tentang pembentukan sebuah produk UU. Perppu ini dipandang sebagai jalan pintas, ditafsirkan untuk menghindari publik atas isi pasal dalam UU Ciptaker. Tidak diketahui publik karena tiadanya uji publik dan sosialisasi.

Dengan Perppu, berarti meniadakan perintah MK dalam amar putusan. Kalau menjalankan putusan MK maka Pemerintah dan DPR harus lakukan proses revisi UU Ciptaker secara normal dan biasa. Disosialisasikan sebagaimana mestinya, ada uji publik dan hal tekhnis lain termasuk membahas dan mendalami RUU sesuai kaidah pembentukan UU yang berlaku.

Pilihan dalam situasi yang carut marut ini adalah Presiden mencabut Perppu tersebut atau DPR menolak Perppu yang diajukan Presiden untuk disetujui menjadi UU. Jika disetujui, maka peta hukum Indonesia dapatkah berubah? Indonesia bukan lagi negara hukum sebagaimana mestinya tapi Indonesia  menjadi negara kekuasaan, seseorang dapat membuat dirinya lebih besar dari hukum. Dengan demikian prinsip “rule of law, and not of Man tidak lagi berlaku.[]

———————

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan /atau keberatan dengan penayangan artikel dan /atau berita tersebut diatas, Anda dapat mengirimkan artikel dan /atau  berita berisi sanggahan dan /atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang_undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: globalindonews74@gmail.com

Kunjungi juga kami

di www.globalindonews.com