Polemik Pulau Pasir Indonesia – Australia, Gubernur NTT: Jika Gugatan di Kabulkan Bisa Lakukan Renegoisasi dan Tinjau Ulang Ratifikasi

IMG_20221108_104259

 

Kupang, GlobalIndoNewsPulau pasir diselatan NTT masih saja menjadi perhatian berbagai pihak. Pemerintah Indonesia mengakui bahwa pulau pasir tersebut milik Australia, Yayasan Peduli Timor Barat, Ferdy Tanoni mengancam akan menuntut Canberra soal klaim atas pulau tersebut.

Ferdi Tanoni, Peraih Penghargaan Civil Justice Award Nasional dari Presiden Australian Lawyers Alliance-ALA, juga mantan agen imigrasi ini menyebutkan Pulau Pasir bagian dari Indonesia. Australia menganggap wilayah tersebut sebagai miliknya. Kementerian Luar Negeri RI juga menegaskan, Pulau Pasir tidak pernah diklaim oleh Indonesia.

Ferdi mengirimkan surat terbuka kepada Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) RI, Sakti Wahyu Trenggono. Surat ini turut dikirimkan kepada Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi NTT.

Menurut Ferdi, Australia mengklaim pulau tersebut sebagai miliknya sejak ada nota kesepahaman (MoU) antara kedua negara pada 1974. Padahal, Pulau Pasir adalah hak mutlak milik masyarakat adat Timor, Rote, Sabu, dan Alor. “Kawasan tersebut adalah mutlak milik masyarakat adat Timor, Rote, dan Alor,” tegas Ferdi, dikutip Antara, Sabtu (29/10).

Ada sejumlah hal yang mendasari pernyataan Ferdi. Ketua Yayasan Peduli Timor Barat ini menjelaskan, Pulau Pasir kerap digunakan sebagai tempat transit nelayan Indonesia ketika mereka berlayar jauh ke selatan, seperti ke perairan Pulau Rote.

Wilayah tersebut juga merupakan lokasi beristirahat nelayan setelah semalam suntuk menangkap tripang dan ikan. Hal ini terbukti dengan adanya kuburan para leluhur Rote dan bermacam artefak lainnya di gugusan Pulau Pasir.

Ferdi menambahkan, pejabat Australia baru mendatangi Indonesia untuk membuat MoU pada 1974. Kedua belah pihak kemudian menandatangani perjanjian Australia-Indonesia di Perth pada 1997.

Ia meyakini, perjanjian tersebut tidak diratifikasi dan tidak mungkin bisa diratifikasi lagi. Pasalnya, douane atau Pemerintah Kabupaten Kupang masih menerbitkan surat izin bagi setiap orang yang hendak berlayar menuju gugusan Pulau Pasir hingga 1974-1976.

Ferdi turut menyinggung perubahan geopolitik yang melahirkan Timor Timur sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat pada awal 2000an. Alhasil, perjanjian yang dibuat antara Australia-Indonesia di Laut Timor sejak 1974-2022 secara otomatis tidak berlaku.

“Selaku Pemegang Mandat Hak Ulayat Masyarakat Adat di Laut Timor dengan tegas menyatakan menolak dan tidak berlaku. Saya tidak menerima dan menolak seluruh janji manis Pemerintah Australia. Gugusan Pulau pasir itu adalah milik kita bangsa Indonesia,” ujar Ferdi.

“Gugusan Pulau Pasir termasuk MoU 1974 dan MoU Box di Gugusan Pulau Pasir itu, saya nyatakan batal demi hukum dan tidak berlaku,” tambah dia.

Australia bahkan disebut tak pernah menunjukkan bukti sah tentang kepemilikan gugusan Pulau Pasir yang diklaim sekitar 1976. Ferdi akhirnya mendesak KKP membatalkan semua dokumen terkait, termasuk surat yang diteken di Pulau Rote pada September. “Saya kembali meminta Anda (Sakti) untuk segera mengundang saya dalam waktu secepat-cepatnya dan teman-teman untuk membahas soal Kedaulatan NKRI yang sangat kita cintai ini,” kata Ferdi.

Lantaran sikap Ferdi mendapati ‘sikap acuh tak acuh’ dari Australia, Ferdi mengancam akan melayangkan gugatan terhadap kepemilikan Australia atas Pulau Pasir di sebuah pengadilan di Canberra.

“Kalau Australia tidak mau keluar dari gugusan Pulau Pasir, kami terpaksa membawa kasus tentang hak masyarakat adat kami ke Pengadilan Commonwealth Australia di Canberra,” ungkap Ferdi.

 

IMG_20221108_104334

 

Sikap Gubernur NTT

Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat memberikan ruang bagi kelompok masyarakat di NTT untuk melayangkan gugatan kepada Pemerintah Federal Australia ke Pengadilan Commonwealth Australia di Camberra demi merebut Pulau Pasir.

“Ini merupakan sebuah momentum jika (gugatan) bisa dikabulkan sehingga dilaksanakan renegosiasi. Kesepakatan ulang itu, berkaitan dengan peninjauan kembali terkait dengan ratifikasi,” kata Viktor Laiskodat di Kupang dikutip katantt.com, Jumat (4/11/2022).

Terkait Pulau Pasir ini, Pemprov NTT jelas Viktor mengikuti arahan Pemerintah pusat terkait dengan klaim pulau Pasir. “Bila Pemerintah pusat bilang itu sah milik Australia ya kita ikut. Kita prinsipnya ikut pemerintah pusat,” kata Laiskodat.

Laiskodat menjelaskan, batas negara merupakan sebuah kedaulatan. Sehingga pemerintah provinsi tidak mungkin mengklaim itu, apalagi perjanjian bilateral itu ditandatangani pemerintah pusat melalui kepala negara ataupun pihak berwenang lainnya.

Mengenai sejarah, Viktor Laiskodat mengakui bahwa hal itu bisa saja. Meski begitu, bagian itu harus diproses pada tingkat antar negara. “Menteri luar negeri sudah menyatakan itu adalah milik Australia, karenanya kita akan terhambat di situ,” tambahnya.

Anggota DPD RI dari Nusa Tenggara Timur, Abraham Liyanto meminta pemerintah meninjau kembali perjanjian, atau nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) antara Indonesia dengan Australia tahun 1974 tentang Pulau Pasir. Alasannya, MoU itu lebih merugikan negara Indonesia.

“Perlu diskusi lagi dengan pemerintah Australia. MoU yang ada lebih merugikan Indonesia,” kata Abraham di Jakarta, Senin, (07/11/2022).

Ia menyebut dengan MoU yang ada, nelayan Indonesia hanya diizinkan untuk singgah, mengambil air bersih, dan mengunjungi makam leluhurnya di wilayah Pulau Pasir. Padahal Pulau Pasir itu sebagai aktivitas para nelayan dari NTT, hingga ada makam leluhur di sana.

Dia menilai Indonesia harus berhak memiliki Pulau Pasir. Selain sudah ada aktivitas orang Indonesia di sana, jarak Pulau Pasir dari lepas pantai barat laut Australia sekitar 320 kilometer (km). Sementara jarak dari sebelah selatan Pulau Rote hanya 170 km. Itu artinya pulau tersebut lebih dekat ke Indonesia.

Kemudian sejak awal abad ke-18, Pulau Pasir telah menjadi tujuan para nelayan NTT. Mereka datang mengumpulkan burung, kerang, telur burung, penyu, teripang, dan telur penyu untuk dikonsumsi. Atas berbagai aktivitas tersebut, di Pulau Pasir terdapat kuburan para leluhur orang-orang Rote.

Fakta lainnya adalah sebelum diklaim menjadi milik Australia, para nelayan Indonesia yang ingin ke Pulau Pasir wajib kantongi izin dari pemerintah Kabupaten Kupang. Masyarakat NTT berlayar mencari ikan dan teripang ke pulau tersebut.

“Itu fakta-fakta yang telah ada. Maka perlu diskusi lagi dengan pemerintah Australia, supaya tidak menjadi perdebatan berkepanjangan, perlu duduk bersama lagi,” tutur anggota Komite I ini.

Pakar Hukum Internasional Dr. Yohanes Bernando Seran, S.H, M.H Kamis, (27/10/2022) kepada wartawan mengatakan pihak-pihak yang mengklaim kepemilikan atas Pulau Pasir (Ashmore Reef) dapat menyelesaikannya melalui Mahkamah Internasional (international court of justice) di Belanda.

Hal itu dimungkinkan karena fenomena saling klaim tersebut masuk dalam terminologi sengketa internasional karena klaim dilakukan subyek hukum internasional termasuk eksistensi individu- individu sebagaimana ditulis  Prof. Georges Scelle.

Yohanes mengatakan, kepemilikan suatu pulau atau zona baik darat, laut dan udara bukan ditentukan status perolehan suatu wilayah seperti warisan dari orang atau subyek hukum lain dalam hukum internasional. 

Akan tetapi kepemilikan (souvereignity) terhadap suatu wilayah dapat ditentukan oleh bukti bukti hukum (bewijs recht) dan tata cara kepemilikan terhadap suatu wilayah yang disengketakan.

Yurisprudensi penyelesaian klaim atas Pulau Sipadan dan Ligitan menggariskan kepemilikan terhadad wilayah yang diklaim oleh banyak negara, yakni  Continous presence, Effective occupation dan Maintenance and ecology preservation terhadap suatu wilayah.

MoU antara Indonesia dengan Australia yang dibuat tahun 1974 dengan sendirinya gugur dan  dinyatakan batal demi hukum (nietige van recht wege) karena keadaan hukum yang ada sekarang antara Indonesia dengan Australia pasca merdekanya Timor Leste sebagai negara berdaulat tahun 1999.

Oleh karena itu, perlu dibuat perundingan dan perjanjian internasioslonal baik yang bersifat treaty contract maupun yang bersifat law making treaty yang melibatkan indonesia, Australia dan Timor leste, jelasnya.

 

IMG_20221108_104508

 

Sikap Indonesia Atas Australia

Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kemlu RI, Abdul Kadir Jailani, menanggapi seruan Ferdi. Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu RI, Laurentius Amrih Jinangkung, turut mengeluarkan pernyataan serupa.

Mereka merujuk pada asas uti possidetis juris. Prinsip dalam hukum internasional tersebut menyatakan, batas-batas negara yang baru merdeka mengikuti batas-batas penjajahnya. Artinya, wilayah NKRI merupakan bekas wilayah Hindia Belanda.

Pulau Pasir tidak pernah dijajah Belanda, melainkan Inggris. Alhasil, pulau tersebut tidak menjadi bagian dari Indonesia ketika merebut kemerdekaannya dari Belanda. Pun pemerintah Hindia Belanda tidak pernah menentang klaim Inggris atas Pulau Pasir sejak 1878.

“Pulau Pasir atau Ashmore Reef tidak pernah menjadi bagian dari wilayah Hindia Belanda,” tegas Amrih saat konferensi pers luring Kemlu RI pada Kamis (27/10).

“Dengan demikian, ketika Indonesia merdeka, Ashmore Reef tidak pernah menjadi bagian dari wilayah NKRI,” lanjut dia.

Berdasarkan laman Kementerian Infrastruktur Australia, Inggris dan Amerika Serikat (AS) memperebutkan kepemilikan Pulau Ashmore pada akhir abad ke-19. Inggris lalu mengasumsikan kepemilikan ‘formal’ atas wilayah ini pada 1878.

Setelah pencaplokan, Kepulauan Ashmore dan Cartier ditempatkan di bawah otoritas Persemakmuran. Pemerintah Inggris menyerahkan pulau ini kepada Australia Barat pada 1942.

“Pulau Pasir merupakan pulau yang dimiliki Australia berdasarkan warisan dari Inggris. Pulau tersebut dimiliki oleh Inggris berdasarkan Ashmore and Cartier Acceptance Act, 1933, dan dimasukkan ke dalam wilayah administrasi Negara Bagian Australia Barat pada tahun 1942,” cuit Abdul.

Duta Besar RI untuk Austria, Damos Dumoli Agusman, kemudian mengungkit prinsip hukum Estoppel. Konsep dalam hukum internasional ini mencegah suatu negara untuk menarik kembali kata-katanya dan mengajukan klaim tertentu.

Pasalnya, Indonesia tidak pernah mengeklaim Pulau Pasir. Hukum yang mengatur legalitas wilayah NKRI tidak menyatakan Pulau Pasir sebagai bagian dari Indonesia. Hal ini tercermin dalam Deklarasi Djuanda pada 1957 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960.

“Selain Uti Possidetis Juris, ada prinsip hukum lain yaitu ‘Estoppel’, yakni negara tidak boleh ‘ujug-ujug’ mengklaim sesuatu yang selama ini secara tersirat melalui perilakunya sudah mengakui bahwa pulau itu bukan miliknya,” cuit Damos yang pernah menjabat jadi Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu RI periode 2017-2021.

Pulau Pasir dan Harta Karun

Ashmore Reef dikenal sebagai Pulau Pasir oleh orang Indonesia. Namanya berasal dari bahasa Rote ‘Nusa Solokaek’. Menurut badan pemerintah Geoscience Australia, Pulau Pasir adalah bagian dari Kepulauan Ashmore dan Cartier.

Kepulauan Ashmore dan Cartier terdiri dari Ashmore Reef dan Cartier Reef, serta laut teritorial yang membentang sekitar 22 kilometer. Dari keseluruhan wilayah ini, Ashmore Reef meliputi bagian barat, tengah, dan timur kepulauan. Luasnya mencapai 583 kilometer persegi.

Cartier Reef mencakup Pulau Cartier dengan luas 167 kilometer persegi. Kepulauan Ashmore dan Cartier yang tak berpenghuni terdiri dari karang dan pasir, serta sedikit daerah berumput.

Wilayah ini terletak di tepi luar landas benua Samudera Hindia dan Laut Timor. Kepulauan tersebut berada sekitar 320 kilometer di lepas pantai barat laut Australia.

Geoscience Australia mencatat, kepulauan ini berada sekitar 170 kilometer di selatan Pulau Rote di Indonesia. Sedangkan situs resmi Kementerian Infrastruktur Australia menuliskan jaraknya sekitar 144 kilometer di selatan Pulau Rote di Indonesia.

Minyak dan Gas

Sejumlah ahli memperkirakan Pulau Pasir dan perairan di sekitarnya menimbun “harta karun” berupa cadangan minyak dan gas alam yang melimpah. Eksploasi minyak dan gas juga ditemukan di kawasan itu.

Oleh karena itu, Yayasan Peduli Timur Barat (YPTB bersama Australian Jubilee Research Centre pada September 2022 mendesak Australia untuk menghentikan pengeboran minyak dan gas di perairan Pulau Pasir.

Mereka khawatir peristiwa pada 2009 terulang ketika satu kilang minyak Montara meledak dan memusnahkan ratusan hektare rumput laut para nelayan.

Beberapa wilayah, seperti perairan Laut Timor dan Pulau Pasir, juga diketahui memiliki potensi gas alam dan minyak yang diperkirakan mencapai lima juta barel.

Klaim sepihak atas Pulau Pasir oleh Australia diduga disebabkan oleh aspirasi negara tersebut untuk menguasai migas di kawasan tersebut.

Hal ini terbukti setelah penandatanganan MoU pada tahun 1974 ketika Australia bergerak cepat dengan menggandeng kontraktor migas Australia, Woodside, untuk meneliti kandungan minyak di daerah tersebut dan kemudian menemukan potensinya.

Pemegang amanat hak ulayat masyarakat hukum adat di Laut Timor, termasuk yang berada di gugusan Pulau Pasir, Ferdi Tanoni, mendesak pemerintah pusat untuk serius menangani persoalan garis batas laut di Pulau Pasir.

Pasalnya, potensi kawasan tersebut mampu menopang perekonomian negara, mengingat hingga saat ini perjanjian yang ditandatangani sejak tahun 1974 tersebut belum pernah diratifikasi kembali oleh Indonesia dan Australia.

Dengan menguasai gugusan Pulau Pasir, menurut Tanoni, Provinsi NTT berpeluang meningkatkan pendapatan daerah dan negara berdasarkan potensinya yang sangat besar.

Melimpah Keanekaragaman Hayati

Tak hanya sumber daya mineral, gugusan Pulau Pasir juga memiliki keanekaragaman spesies dan habitat yang melimpah dengan 14 jenis ular laut, 433 jenis moluska, 70 jenis ikan yang teridentifikasi di daerah tersebut, serta 255 jenis terumbu karang.

Gugusan Pulau Pasir ini juga menjadi area bertelur penyu dan populasi burung yang bermigrasi. Binatang seperti dugong, berbagai cetacion, dan hiu paus pun kerap terlihat secara teratur di sekitar karang.

Salah satu gugus Pulau Pasir yang disebut Australia sebagai Pulau Cartier juga memiliki ekosistem yang unik dan rentan. Jenis terumbu karang di sekitarnya pun sangat beragam termasuk 547 spesies ikan yang teridentifikasi, yang mewakili sekitar 16 persen spesies ikan Australia.

Komunitas tumbuhan di Pulau Pasir sebagian besar berupa semak belukar dan herba, dengan pertumbuhan yang subur selama musim hujan. Untuk melindungi terumbu karang, Pemerintah Australia selama ini mendeklarasikan Cagar Alam Nasional Terumbu Ashmore pada 1983, menurut Geoscience Australia.(Tim/Red)

———————

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan /atau keberatan dengan penayangan artikel dan /atau berita tersebut diatas, Anda dapat mengirimkan artikel dan /atau  berita berisi sanggahan dan /atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang_undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: globalindonews74@gmail.com

 

Kunjungi juga kami

di www.globalindonews.com