Refleksi Akhir Tahun; Advokat, Organisasi Advokat dan Penegakkan Hukum

Oplus_131072

 

Oleh : Akhmad Bumi

Kupang, GlobalIndoNews – Tiap akhir tahun selalu dilakukan refleksi baik refleksi pribadi, organisasi, perusahaan, lembaga pemerintah atau non pemerintah. Advokat sebagai pekerjaan profesi patut melakukan refleksi sepanjang tahun 2024 dan persiapan menyambut tahun baru 2025.

Tragedi yang menimpa advokat Lisa Rahmat dari Lisa Associate Legal Consultant tahun 2024 adalah kisah kelam penegakan hukum Indonesia. Kasus Gregorius Ronald Tannur, pembunuhan mantan pacarnya diputus bebas oleh hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang dibela advokat Lisa Rahmat dari Lisa Associate Legal Consultant menjadi salah satu catatan buruk penegakan hukum di tahun 2024.

Advokat Lisa Rahmat ikut ditangkap bersama tiga hakim yang memutus bebas Gregorius Ronald Tannur. Lisa memiliki peran besar dalam melancarkan praktik suap hingga terdakwa Gregorius Ronald Tannur diputus bebas oleh hakim.

Profesi advokat disaat membela klien harus memihak pada kliennya, sedangkan profesi hakim harus independen dan tidak memihak. Total suap Lisa Rahmat tidak tanggung-tanggung, dari dokumen yang disita Kejagung RI mencapai Rp20,5 milyar.

Advokat disebut sukses harus linear dengan pembangunan hukum juga ikut sukses. Cara memenangkan klien dengan jalan gelap, dilakukan dengan cara suap adalah cara yang tidak moralitat dan tidak profesional.

Kasus yang menimpa Lisa Rahmat dari Lisa Associate Legal Consultant adalah satu dari sekian banyak kasus yang melibatkan advokat, baik yang terungkap maupun tidak terungkap, perlu dilakukan refleksi.

Advokat legendaris Indonesia Yap Thiem Hien mengatakan “Apa yang hendak saudara capai di pengadilan? Hendak menang perkara atau hendak meletakkan kebenaran saudara di ruang pengadilan dan masyarakat? Jika saudara hendak menang perkara, janganlah pilih saya sebagai pengacara anda, karena pasti kita akan kalah. Tetapi anda merasa cukup dan puas mengemukakan kebenaran saudara, saya menjadi pembela Saudara”.

Pernyataan advokat legendaris Indonesia Yap Thiem Hien pada setiap calon kliennya yang meminta bantuan pembelaan hukum tersebut adalah gambaran nilai yang dipegang teguh setiap perkara dipengadilan, terlihat paradoks dari yang semestinya.

Kemenangan perkara yang diperjuangkan oleh setiap pengacara dalam ruang sidang sesuatu yang didambakan. Yap Thiem Hien justru menjanjikan kekalahan kepada kliennya. Sebagai gantinya, ia menawarkan jalan lain, yaitu kebenaran (nilai). Menjalankan tugas profesi secara profesional, jujur dengan moral yang tinggi.

Profesi Advokat

Kebutuhan jasa hukum advokat semakin meningkat seiring berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat yang kian terbuka dalam kehidupan maupun pergaulan antar bangsa dan negara. Melalui pemberian jasa pendampingan, konsultasi, negosiasi maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak, profesi advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembangunan hukum nasional.

Profesi advokat itu profesi yang sarat idealisme. Konsisten terhadap idealisme lebih penting daripada populer. Idealisme terletak pada tanggungjawab profesi dibidang hukum. Status dan peran yang besar menuntut tanggungjawab yang besar pula. Tanggungjawab besar menuntut keahlian tinggi dan professional.

Cara advokat melakukan penegakan hukum dengan jalan gelap (suap) justru mengaburkan officium nobile atau profesi mulia yang disandang advokat. Officium Nobile sudah dikenal sejak tahun 1920-an.

Mulianya profesi advokat sangat ditentukan kualitas keahlian. Kualitas keahlian ditentukan standar-standar oleh organisasi profesinya.

Di Malaysia, untuk menjadi advokat diseleksi oleh satu badan yang terdiri dari Ketua Mahkamah Federal Malaysia (Mahkamah Agung), Ketua Advokat dan Rektor Perguruan Tinggi dengan qualifying board. Disalah satu negara bagian, Illinois Amerika dikenal the Attorney Registration and Disciplinary Commission (ARDC). Seleksi cukup ketat dengan persyaratan yang berjenjang. Bukan bim salabim layaknya pesulap dengan pertunjukan yang kocak dan pintas.

Dalam seleksi calon advokat menjadi advokat, salah satu materi wajib dalam PKPA atau pendidikan khusus profesi advokat (istilah yang digunakan organisasi Peradi) adalah kode etik profesi. Saat kuliah ada mata kuliah etika profesi hukum.

Etika adalah ilmu pengetahuan, cabang ilmu filsafat yang mempelajari tentang moral. Dalam menghadapi norma-norma moral disebut moralitat, penyesuaian diri dengan kewajiban bathin. Realitas moralitat tidak linear dengan legalitat (norma-norma hukum). Norma hukum dan norma moral memang berbeda tapi keduanya memiliki hubungan yang erat. Hukum ditegakkan dengan cahaya hati nurani (hukum yang bermoral).

Cara menegakkan hukum dengan cara suap untuk memenangkan perkara hanya membuat hukum menjadi tidak bermoral. Kasus Lisa Rahmat itu adalah pukulan dalam penegakkan hukum yang dijalankan oleh penegak hukum termasuk advokat, minim etika dan moral dalam pembangunan hukum nasional.

Menjadi advokat di organisasi Peradi misalnya tahapannya cukup panjang dan ketat, harus sarjana hukum yang dibuktikan dengan ijasah S1, magang 2 (dua) tahun dengan advokat pendamping, mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), Ujian Profesi Advokat (UPA) dan kemudian diangkat sumpah oleh Pengadilan. Seleksi dilakukan dengan ketat dan berjenjang.

Organisasi Advokat

Di Indonesia tercatat puluhan organisasi advokat. Pemerintah melalui Menko Yusril Ihza Mahendra dalam Rakernas Peradi di Bali mendorong agar hanya ada satu organisasi advokat (single bar) sebagai state organ yang menjalankan fungsi seleksi, pengangkatan, pembinaan, pemberian sanksi termasuk pemberhentian advokat.

Organisasi advokat (single bar) sebagai state organ agar dapat menjadikan organisasi profesi advokat menjadi tangguh dan professional, ikut aktif dalam pembangunan hukum. Pernyataan Menko Yusril Ihza Mahendra menjadi perdebatan dikalangan organisasi advokat.

Rancangan revisi UU Nomor 8 Tahun 2013 tentang advokat telah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2025-2029. Perdebatan masih mewarnai seputar apakah menggunakan sistem single bar atau multi bar, juga terkait standar profesi advokat, kualitas advokat hingga mekanisme pengawasan, penegakkan kode etik advokat dan tafsiran advokat menjadi penegak hukum.

Dahulu organisasi advokat sudah single bar, namanya Persatuan Advokat Indonesia (PAI). Persatuan Advokat Indonesia (PAI) menjadi embrio lahirnya Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN). Persatuan Advokat Indonesia (PAI) lahir dari Balie Van Advocaten Jawa Tengah, Balai Advokat Jakarta, Bandung, Medan dan Surabaya. Kemudian PAI menjelma menjadi Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN).

Tahun 1966 advokat Peradin ditunjuk sebagai pembela tokoh-tokoh pelaku G30 S PKI. Peradin menjadi satu-satunya wadah advokat di Indonesia saat itu.

Kepengurusan PERADIN dijabat oleh tim ad-hoc mengeluarkan resolusi yakni menyelenggarakan kongres nasional advokat Indonesia, mempersiapkan nama organisasi, anggaran dasar, anggaran rumah tangga dan kode etik, merencanakan program kerja dan membentuk pengurus definitif.

Beberapa anggota Peradin tidak setuju dengan resolusi tersebut, kemudian membentuk Himpunan Penasehat Hukum Indonesia (HPHI), Lembaga Pelayanan dan Penyuluhan Hukum (LPPH-1979), Pusat Bantuan dan Pengabdian Hukum (Pusbadhi), Fosko Advokat (forum study dan kumunikasi advokat) dan Bina Bantuan Hukum (BBH).

Tahun 1985 berdiri lagi Ikadin, tahun 1987 berdiri Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) sebagai wadah pengacara praktek. Muncul lagi Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI-1988), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM-4 April 1989. Pada tahun 1990 ratusan anggota Ikadin keluar dan membentuk Asosiasi Advokat Indonesia (AAI).

Pada tahun 1995 terjadi rekonsiliasi yang difasilitasi pemerintah dengan membuat seminar di Jakarta untuk Ikadin, AAI dan IPHI. Hasilnya kode etik bersama dan pembentukan forum komunikasi advokat Indonesia (FKAI). Kemudian dalam perjalanan Ikadin tarik diri dan kembali memberlakukan kode etik Ikadin.

Tahun 2002 dideklarasi terbentuknya Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) yang beranggotakan Ikadin, AAI, IPHI, AKHI, HKPM, Serikat Pengacara Indonesia (SPI) dan Himpunan Advokat Pengacara Indonesia (HAPI).

Tugas Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI); panitia bersama dengan MA menyelenggarakan ujian pengacara praktek tanggal 17 April 2002, membuat kode etik advokat Indonesia, mendesak segera diundangkan RUU Advokat.

Tanggal 5 April 2003 UU Advokat diundangkan. Tanggal 16 Juni 2003 dibentuk KKAI versi kedua yang bertujuan melaksanakan pasal 32 ayat 1, 3 dan 4 terkait verifikasi atas advokat membentuk organisasi advokat.

Pada tanggal 21 Desember 2004 lahirlah Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) sebagai pelaksana atas UU Advokat.

Pada tahun 2007 Munas Ikadin IV di Balikapapan, pecah dua versi yakni Ikadin versi Otto Hasibuan dan Ikadin versi Teguh Samudra. Keduanya saling klaim sebagai pengurus yang sah.

Pada 2008 Ikadin versi Teguh Samudra bersama Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat Pengacara Indonesia (HAPI) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) mendeklarsikan Kongres Advokat Indonesia (KAI) sebagai wajud protes sebagian advokat terhadap keberadaan PERADI.

Tahun 2008 Peradin bangkit kembali yang sebelumnya sudah dilebur di Ikadin, dan kemudian Peradin juga pecah menjadi dua yakni Peradin versi Ropaun Rambe dan Peradin versi Frans Hendra Winarta.

Sampai saat ini terdapat puluhan organisasi advokat. Akankah dilebur dalam Peradi menjadi single bar atau dibentuk Dewan Advokat nasional (DAN) atau kembali ke Persatuan Advokat Indonesia (PAI) era tahun 1960-an?

Diakhir tahun dan memasuki tahun baru 2025 menjadi tahun refleksi, Pemerintah sepatutnya memfasilitasi semua organisasi advokat dan membuat seminar dan lokakarya untuk membahas organisasi advokat, agar kedepan advokat dalam menjalankan tugas profesinya tidak tercerai berai dengan perbedaaan antar organisasi profesi advokat. Organisasi advokat adalah organisasi profesi, bukan organisasi politik. Olehnya organisasi advokat perlu ditempatkan pada proporsi yang ideal, advokat selain menjalankan tugas profesi, disisi lain ia sebagai penegak hukum.[]

*) Penulis, Advokat Peradi, Tinggal di Kupang

———————

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan /atau keberatan dengan penayangan artikel dan /atau berita tersebut diatas, Anda dapat mengirimkan artikel dan /atau  berita berisi sanggahan dan /atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang_undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: globalindonews74@gmail.com

Kunjungi juga kami

di www.globalindonews.com