Senandika Aksara Pena : Untaian Goresan Pena Guru Madrasah Di Bumi Rahimnya Nilai-Nilai Dasar Pancasila

IMG-20230326-WA0168

 

Oleh : Rahmad Nasir, S.Pd., M.Pd, Dosen STKIP Muhammadiyah Kalabahi

Segala puji bagi Allah SWT atas segala pengetahuan dan kreativitas yang dipercikan kepada umat manusia sehingga pengetahuan itu terus berkembang seiring dengan perjalanan umat manusia. Meski mukzizat dari penghulu segala nabi itu adalah sebuah “bacaan” atau kumpulan tulisan yang memiliki karomah tersendiri. Qur’an yang agung itu dimulai dengan kalimah “Iqro” yang menunjukkan betapa pengetahuan dan literasi itu begitu penting dalam sendi-sendi kehidupan manusia. Kendati begitu masih dalam teori-teori sakral Tuhan mengingatkan dengan jelas bahwa “tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” yang memberi gambaran tak boleh ada kecongkakan bagi siapa pun atas kepandaian ilmu yang dimiliki. Meski Tuhan dengan kebijaksanaan-Nya menggaransikan ketinggian derajat bagi orang-orang yang berilmu. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah oleh Allah kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, sosok yang menjadi penyampai pesan-pesan Ilahiah untuk membumi dalam kehidupan umat manusia. Semoga naluri keilmuan beliau dapat menjadi uswah bagi kita sekalian. 

Mungkin dengan kemampuan intuisi yang luar biasa mampu membangun konektivitas sang penulis dengan aurah ilahiah secara vertikal dan menemukan titik koordinat dengan konektivitas intuisi penulis atas realitas sosial kemasyarakatan secara horizontal yang muncul dalam kehidupan sekitarnya. Zulkasim mampu mensinergiskan dua arah ini dalam syair-syair yang dibentuk dalam bentuk antologi puisi ini. Antologi puisi yang dirangkai oleh Saudara Zulkasim ini secara tersirat menggambarkan dinamika intuitif tentang cinta, hikmah ilahiah, perjuangan hidup, narasi literasi serta diksi kebangsaan. Isinya  bercampur aduk dalam rasa haru, decak kagum, semangat atau optimisme, nilai juang, nalar kritis serta pujian yang membentuk satu perspektif tertentu sebagaimana yang ada di tangan pembaca sekalian. Kelihatannya sensitivitas sang penulis menangkap signal epistimologi melalui serpihan realitas hidup individual yang emprikal serta realitas sosial kebangsaan yang akhir-akhir ini cukup mengkhawatirkan kita semua sebagai anak bangsa. Kenelangsaan dan kepiluan ini cukup beralasan karena penulis teridentifikasi sebagai mantan aktivis KAMMI yang tentu saja tetap membawa idealisme meski sudah berada di dunia kerja. 

Sejak tahun 2006 saya mengenal Saudara Zul saat sama-sama masuk di perguruan tinggi Universitas Nusa Cendana Jurusan Pendidikan MIPA Program Studi Pendidikan Kimia. Sejak itulah kami tumbuh berkembang bersama dalam dinamika kampus baik dalam organisasi kemahasiswaan intra dan ekstra kampus. Tercatat kami sama-sama berproses di Organisasi Ikatan Mahasiswa Pendidikan Kimia (IMASPIKA) FKIP Undana, Forum Silaturahim Mahasiswa Islam (FOSMI) FKIP Undana. Untuk organisasi ekstra kampus saya memilih Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Saudara Zul memilih Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) bahkan kami berdua sama-sama sukses menjadi Ketua Umum di Level komisariat. 

Sejak awal perkuliahan Akhi Zul sudah terlihat fokal dan kritis dalam dialektika pengetahuan untuk tema-tema perkuliahan maupun tema-tema keislaman dan kebangsaan. Menyadari akan diri sebagai anak daerah yang merantau ke ibu Kota Propinsi untuk berjuang dalam buana edukasi, Zul kuliah sambil bekerja sebagai penjaga sekolah TK Aisyiyah Bustanul Athfal (ABA) 2 Perumnas-Kupang dan hidup sederhana serba irit demi sukses kuliahnya. Benar saja beliau wisuda dengan cukup cepat dan akhirnya lulus sebagai guru PNS di Kabupaten Ende yang dikenal sebagai tempat Bung Karno diasingkan dan berhasil merenungkan butir-butir Pancasila. Kini selain mengajar, mulai aktif di komunitas/organisasi penulis, sebagai jurnalisme warga dan kegiatan filantropi lainnya yang cocok dengan idealismenya semasa mahasiswa. 

Saya yakin apa yang dikatakan Imam Al-Gazhali bahwa “Jika Engkau Bukan Anak Seorang Raja atau Ulama Maka Jadilah Penulis” saya kira sepadan dengan yang disampaikan penulis terkenal sekelas Pramoedya Ananta Toer yakni “Orang Boleh Pandai Setinggi Langit, Tapi Selama Ia Tidak Menulis, Ia Akan Hilang Dalam Masyarakat dan Dalam Sejarah, Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian”. Dua kutipan bermakna di atas cukup memberikan pelajaran berharga untuk kita semua sebagai pembaca untuk menyadari pentingnya kekuatan tulisan dan dunia literasi pada umumnya untuk menyokong peradaban manusia. 

Kita tentu mengenal dua jenis karya tulis yakni karya tulis fiksi dan non fiksi. Nah, yang ada di tangan pembaca ini terkategori sebagai tulisan fiksi yang membutuhkan kekuatan penghayatan yang mendalam, daya imajinasi yang jauh, nilai intuisi yang kuat, sensitivitas emosional yang pekat, dan nuansa internalisasi terhadap suatu “nilai” aksiologi dalam kehidupan nyata. Tentu saja metode dan inspirasi bisa ditemukan melalui hayalan (mitsali), renungan atau kontemplasi, refleksi mendalam, dan nalar kritis terhadap segala realitas yang berpapasan dalam hidup manusia. Inspirasi memang mahal, inspirasi ibarat ilham dari Tuhan yang datang kapan saja dan dimana saja bagi siapa pun yang dikehendaki-Nya. 

Puisi kadang telanjang makna, namun terkadang senyap bersemayam di balik diksi singkat dan membutuhkan skill tingkat dewa untuk menangkap maknanya. Makna puisi pun sering bersembunyi di balik keheningan yang mistik, namun kadang memuat nilai politis yang tinggi untuk mengarahkan para pembaca mengikuti nalar puitik sang penyair. Dengan bahasa cinta puisi mengulas realitas yang praktis, namun sebaliknya tema-tema praktis sebagai metode untuk membahas cinta sebagai sesuatu yang tak pernah terdefenisikan secara absolut. Membaca puisi sama saja masuk ke dalam sebuah dunia tersendiri, mungkin saja semacam dunia IDE yang dimaksudkan Plato yang di dalamnya tersimpan secara lengkap semua diksi yang dibutuhkan sang penyair dan harus direbut kembali dengan “Teori Pengingatan Kembali”. Puisi tentu bukan sekedar retorika atau permainan kata-kata dengan aturan tertentu baik itu baris dan ketukan, namun lebih dari itu adalah “MAKNA” atau hakikat dalam ontologi filsafat. Apa pun itu terlepas kurang dan lebihnya sebagai penulis pemula, ada ibrah penting yang saya dapatkan setelah membaca petikan-petikan syair antologi puisi karya Akhi Zulkasim ini. 

Untaian mutiara ini layak dibaca oleh para pecinta tulisan fiksi yang mendasarkan pada realitas yang berpapasan dalam relung kehidupan manusia. “Dalam bahasa puisi aku berdakwah”. Kami menantikan karya puitik selanjutnya karena ada kalimat teologi sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Semoga karya ini bermanfaat dan bermakna. Selamat atas penerbitan karya berharga ini.[]

———————

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan /atau keberatan dengan penayangan artikel dan /atau berita tersebut diatas, Anda dapat mengirimkan artikel dan /atau  berita berisi sanggahan dan /atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang_undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: globalindonews74@gmail.com 

Kunjungi juga kami

di www.globalindonews.com