Suksesi Pemimpin Parpol yang tidak Demokratis, Sumber lahirnya Pemimpin Diktator

Oleh: Akhmad Bumi, SH.
Kupang, GlobalIndoNews – Munas XI Partai Golkar yang berlangsung di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, yang menetapkan Bahlil Lahadalia sebagai Ketua Umum gantikan Airlangga Hartarto di gugat di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Salah satu penggugat, kader Partai Golkar, M Rafik menduga Munas XI berlangsung 20-21 Agustus 2024 melanggar anggaran dasar hasil Munas X 2019 yang menyebutkan bahwa Munas diselenggarakan setiap 5 tahun di bulan Desember 2024. Rafik menilai Munas XI Partai Golkar adalah perbuatan melawan hukum.
Dalam UU Parpol mengatur bahwa perselisihan Parpol diselesaikan secara internal oleh Mahkamah Partai dan secara eksternal oleh Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung.
Mengutip Bocor Halus Tempo (www.tempo.co) menyebutkan ada operasi istanah terkait lengsernya Airlangga dan naiknya Bahlil Lahadia menjadi Ketua Umum. Pratikno mendatangi Airlangga dan mendesaknya mundur. Kenapa mesti Pratikno / orang dalam istanah yang mendatangi Airlangga? Bocor Halus Tempo juga membeberkan selain Pratikno, ada juga petinggi Polri dan politisi dalam istanah, bahkan sempat memberi deadline waktu hingga pukul 00 tanggal 10 Agustus 2024. Masih menurut bocor halus tempo, ada gerakan masif ke DPD-DPD Partai Golkar seluruh Indonesia, dan lain sebagainya.
Kemudian Bahlil menjadi calon Tunggal Ketua Umum Partai Golkar, sebagian pihak menilai, hal ini yang membuat demokratisasi diinternal Partai Golkar tidak berjalan, meniadakan kompetisi dalam setiap suksesi ditingkat Parpol, apalagi sekelas Partai Golkar.
Hal menarik lain, Bahlil dalam pidatonya menyebut raja Jawa, kalau main-main dengan raja Jawa, bisa cilaka kita. Kebanyakan orang menafsirkan, raja Jawa yang dimaksud Bahlil adalah Jokowi. Kemudian dihubungkan dengan naiknya Bahlil menjadi Ketua Umum Partai Golkar adalah kehendaknya Jokowi?
Jokowi dua bulan lagi sudah tidak berkuasa, sudah turun dari panggung kekuasaan, sudah kehilangan power. Seperti apa yang terjadi pada diri Jokowi setelah lengser? Hanya sejarah yang menceritakannya kelak, bisa baik dan bisa buruk.
Ciri partai yang telah melembaga secara paripurna adalah selalu menempatkan aturan main di atas segala-galanya. Selain itu, juga terjadi depersonalisasi dalam arti urusan pribadi para pengurusnya tidak dicampuradukkan dengan urusan organisasi.
Untuk mendorong agar Parpol terus memperbaiki performanya demi menopang tumbuhnya demokrasi yang berkualitas perlu melakukan pembaruan yang mengarah pada penguatan sistem dan kelembagaan Partai Politik, yang menyangkut demokratisasi internal Partai Politik.
Mengapa demokrasi internal disebagian Parpol gagal diimplementasikan sekalipun hal ini telah diwajibkan oleh undang-undang? Salah satunya bersumber dari rumusan norma pengaturannya yang masih sangat umum dan abstrak dalam UU Partai Politik.
UU belum memberikan parameter dan ukuran yang jelas mengenai prosedur suksesi kepemimpinan internal yang bersifat demokratis, dan justru menyerahkan sepenuhnya untuk diatur secara bebas oleh masing-masing partai melalui anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART).
Kandungan pasal yang sifatnya sangat umum pasti akan menyebabkan makna dari pasal tersebut menjadi kabur sehingga tidak akan bisa menuntun ke arah pemahaman mengenai isinya secara pasti dalam kerangka untuk bangunan demokrasi diinternal partai.
Padahal salah satu ciri utama dari hukum adalah selalu mengendaki agar apa yang dituju itu dirumuskan dengan jelas, dalam arti: (1) dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kekaburan makna; dan (2) dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan arah pelaksanaannya dengan jelas (operasional).
Saat ini, mayoritas dari pelaksanaan suksesi kepemimpinan dalam parpol menggambarkan dua kondisi: otoritarianisme karena prosedurnya tidak jelas, namun calon pemenangnya sudah pasti. Bahkan sebagian partai yang lain mengalami totaliterianisme di mana baik prosedur maupun hasilnya sudah serba pasti.
Akibat suksesi yang tidak demokratis tersebut, bukan saja telah menghasilkan sosok pemimpin partai dengan karakter yang tidak demokratis, tetapi bahkan tidak jarang melahirkan tokoh-tokoh atau pemimpin partai yang diktator.
Sebagian dari pemimpin partai telah menjadi simbol dari otoritarianisme itu sendiri, sesuatu yang sebenarnya sudah dikikis habis oleh gerakan reformasi.
Konsekuensi lanjutannya adalah, parpol yang semestinya berfungsi sebagai instrumen demokrasi, berubah menjadi sarana pemuas ambisi dan kepentingan kelompok politik para elit dan pemimpinnya.[]
———————
Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan /atau keberatan dengan penayangan artikel dan /atau berita tersebut diatas, Anda dapat mengirimkan artikel dan /atau berita berisi sanggahan dan /atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang_undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: globalindonews74@gmail.com
Kunjungi juga kami